Jakarta - PT Angkasa Pura I (AP I) sedang membangun
bandara baru di Yogyakarta, lokasinya di Kabupaten Kulon Progo. Bandara
baru ini bakal menggantikan Bandara Adisutjipto.
Biaya pembangunan bandara baru ini diperkirakan menelan investasi Rp 6 triliun. 'The New Yogyakarta Airport' ini akan dilengkapai fasilitas transportasi kereta bandara layaknya Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara.
"Kita mau membangun terminal baru di Yogja. Kita ingin membangun betul-betul city. Bukan semata city tapi airport city. Di mana si airport sebagai nucleus (inti). Kemudian infrastruktur di sekitarnya hidup karena ada intermoda transportasi. Ada kereta. Itu yang ingin kita capai," ucap Direktur Utama AP I Tommy Soetomo saat berbincang dengan detikFinance di Kantor Pusat AP I, Kemayoran Jakarta, dikutip Senin (28/10/2013).
Menurut Tommy, bandara baru ini rencananya bisa beroperasi 2016, saat ini masih dalam proses pembebasan lahan yang berjalan mulus. “Kita sekarang tinggal menunggu penerbitan izin lokasi dari Kemenhub (kementerian perhubungan,” jelasnya.
Bandara baru ini juga akan mendukung Provinsi Yogyakarta sebagai destinasi wisata dari turis domestik dan dunia.
“Nanti di Yogyakarta benar-benar komplek. Nanti ada tempat convention, property development, tempat pengembangan industri. Itu semua terintegrasi jadi nanti pusat hubungan lalu lintas orang dan barang itu adalah centrum-nya airport,” jelasnya.
Ia menuturkan untuk mengembangkan The New Yogyakarta Airport ini, AP I menggandeng mitra luar negeri. AP I mengajak GVK, yang merupakan perusahaan dan operator bandara asal India yang sukses mengelola Bandara Mumbai dan Bandara Bangalore.
“Kita sudah sejak lama tahun 2011 bekerjasama dengan GVK India," katanya.
Bandara Adisutjipto merupakan bandara komersial yang dimiliki oleh pihak militer. Bandara ini sudah sangat padat, misalnya data per tahun 2012, jumlah
volume penumpang domestik dan internasional mencapai 4.998.028 penumpang per tahun. Apalagi jadwal penerbangan komersial kerap terganggu karena ada aktivitas pesawat militer.
Menurut Tommy, pengembangan bandara yang dimiliki militer relatif sulit karena terkendala perizinan. “Lahan atau airport yang kita kelola itu kebanyakan milik TNI. Itu yang susah dikembangkan,” terangnya. (feb/hen)
Biaya pembangunan bandara baru ini diperkirakan menelan investasi Rp 6 triliun. 'The New Yogyakarta Airport' ini akan dilengkapai fasilitas transportasi kereta bandara layaknya Bandara Kuala Namu di Sumatera Utara.
"Kita mau membangun terminal baru di Yogja. Kita ingin membangun betul-betul city. Bukan semata city tapi airport city. Di mana si airport sebagai nucleus (inti). Kemudian infrastruktur di sekitarnya hidup karena ada intermoda transportasi. Ada kereta. Itu yang ingin kita capai," ucap Direktur Utama AP I Tommy Soetomo saat berbincang dengan detikFinance di Kantor Pusat AP I, Kemayoran Jakarta, dikutip Senin (28/10/2013).
Menurut Tommy, bandara baru ini rencananya bisa beroperasi 2016, saat ini masih dalam proses pembebasan lahan yang berjalan mulus. “Kita sekarang tinggal menunggu penerbitan izin lokasi dari Kemenhub (kementerian perhubungan,” jelasnya.
Bandara baru ini juga akan mendukung Provinsi Yogyakarta sebagai destinasi wisata dari turis domestik dan dunia.
“Nanti di Yogyakarta benar-benar komplek. Nanti ada tempat convention, property development, tempat pengembangan industri. Itu semua terintegrasi jadi nanti pusat hubungan lalu lintas orang dan barang itu adalah centrum-nya airport,” jelasnya.
Ia menuturkan untuk mengembangkan The New Yogyakarta Airport ini, AP I menggandeng mitra luar negeri. AP I mengajak GVK, yang merupakan perusahaan dan operator bandara asal India yang sukses mengelola Bandara Mumbai dan Bandara Bangalore.
“Kita sudah sejak lama tahun 2011 bekerjasama dengan GVK India," katanya.
Bandara Adisutjipto merupakan bandara komersial yang dimiliki oleh pihak militer. Bandara ini sudah sangat padat, misalnya data per tahun 2012, jumlah
volume penumpang domestik dan internasional mencapai 4.998.028 penumpang per tahun. Apalagi jadwal penerbangan komersial kerap terganggu karena ada aktivitas pesawat militer.
Menurut Tommy, pengembangan bandara yang dimiliki militer relatif sulit karena terkendala perizinan. “Lahan atau airport yang kita kelola itu kebanyakan milik TNI. Itu yang susah dikembangkan,” terangnya. (feb/hen)