Menyusul penerapan implementasi biaya tambahan (surcharge) oleh pemerintah pada 26 februari 2014 akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, penjualan tiket pesawat low cost carrier domestik mengalami penurunan hingga 20 persen.
Pelemahan rupiah tersebut, berdampak pada melambungnya harga bahan bakar pesawat. Alhasil untuk menyelamatkan industri penerbangan dari kebangkrutan, pemerintah memberlakukan fuel surcharge yang dibebankan kepada konsumen .
Menurut Ketua umum Association of the Indonesia Tours and Travel (Asita) Asnawi Bahar, ada kontraksi penjualan tiket seiring dengan penambahan surcharge tersebut. “Penjualan tiket pesawat low cost carrier menurun 10%—20% pada awal penerapan,” katanya dilansir Bisnis.com.
Perlu diketahui, untuk penerbangan dengan pesawat jet, surcharge ditambahkan sebesar Rp 60.000 dan Rp 50.000 untuk pesawat turbo propeller di luar harga tiket. Lewat aturan Permenhub No. 2/2014 tentang Besaran Biaya Tambahan Tarif, harga tiket pesawat tujuan domestik mengalami kenaikan sebesar 7 hingga 9 persen.
“Efek psikologis calon penumpang muncul saat harga tiket pesawat low cost carrier mendadak lebih mahal atau hampir sama dengan harga tiket pesawat full service. Banyak dari mereka menunda perjalanan akibat penerapan surcharge,” tuturnya.
Namun, penurunan penjualan tiket low cost carrier tersebut tidak berlangsung lama menyusul tingginya kebutuhan penggunaan transportasi udara. “Kami memprediksi, penjualan akan kembali normal pada bulan kedua penerapan surcharge.”
Dalam penerapan surcharge, Asita meminta kepada pemerintah dan maskapai untuk jangan terlalu lama mempertahankan biaya tambahan itu. “Jika rupiah membaik, harga avtur sudah seperti semula, surcharge tersebut harus segera dicabut untuk mendongkrak kembali penjualan tiket pesawat,” katanya
Menangapi hal itu, Ketua umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Arif Wibowo mengatakan kontraksi penjualan tidak akan berlangsung lama. “Itu hanya efek psikologis dari konsumen saja,” katanya.
Sumber