Merujuk pengalaman sebelumnya ketika maskapai menerapkan fuel surcharge, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta, penerapan tuslah atau surcharge kepada penumpang disatukan dalam harga tiket.
“Supaya perhitungannya lebih objektif itu lebih baik biaya itu dimasukan dalam tiket. Jangan dipisah, kalau dipisah nanti kalau harga avtur turun mereka enggak mau turunin harga,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo, seperti dilansir Bisnis.com.
Dia menuturkan, usulan maskapai untuk menerapkan biaya tambahan atau tuslah terkesan mirip dengan penerapan biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge).
Kebijakan tersebut sebelumnya dibatalkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) lantaran terindikasi maskapai melakukan praktik kartel atau berkelompok menerapkan harga.
Selain wajib dimasukkan dalam komponen tiket, bukan terpisah sehingga suatu waktu biaya itu bisa dicabut kembali, penerapan tuslah kepada penumpang diimbau hanya berlaku sementara.
“Kasus yang pernah masuk ke KPPU itu membuktikan fuel surcharge hanya akal-akalan maskapai untuk mengerek pendapatan mereka. Makanya kami minta agar jangan dipisah, nanti enggak proporsional besarannya. Airlines tidak bisa memanipulasi,” paparnya.
Sebelumnya, KPPU pernah membatalkan kesepakatan Indonesia National Air Carriers Association (INACA) soal fuel surcharge yang terpisah dari tiket sebesar Rp 20.000 per penumpang.
Dalam pernyataan resminya, KPPU merekomendasikan pemberlakuan fuel surcharge mesti dilakukan secara konsisten dengan menggunakan formula baku sehingga bisa mengidentifikasi besaran seharusnya bagi setiap maskapai.
Sumber